Jumat, 25 Maret 2016

Ko'mara menyimpan Kekayaan Hayati di Selatan Sulawesi

Ko'mara merupakan nama kampung lama di Polombangkeng Utara (Polut), kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan yang memiliki banyak kisah. Satu dari sekian banyak kisah bercerita tentang latar belakang namanya konon Ko'mara secara etimologi berasal nama kata dalam bahasa Makassar yang bermakna kering. Latar penyebutan ini berasal dari peristiwa terdamparnya sebuah perahu di bagian selatan jalan yang membela dua kawasan ini. Bukti perahu itu oleh warga naskan pada batu cadas yang melintang kebarat pada sebuah tebing gunung di selatan Borong Ra'misi.
Penulis bersama peserta didik SDN Ko'mara di Dampang Ko'mara
(23/03/2016)

Ko'mara dipenuhi kisah tentang sebuah perkampungan tua yang dimpimpin seorang dampang yang kemudian disebut luas dengan sebutan Dampang Ko'mara. Ko'mara juga dipenuhi kisah sebagai benteng terakhir para pejuang kemerdekaan dan revolusi fisik berlindung. Tokoh-tokoh besar seperti Ranggong Daeng Romo, Pajonga Daeng Ngalle, Sonrong Daeng Mangung, dan para pejuang lain memilih Ko'mara sebagai tempat bergeriliya melawan kolonialisme. Taktik geriliya ditempuh sebagai strategi melawan senjata yang lebih moderen dan startegi yang digunakan Belanda pada masa itu. Geriliya bukan manifestasi dari ketakmampuan berjuang dengan cara perang terbuka tapi sebuah metode perlawanan untuk keberlanjutan perjuangan.

Kawasan Hayati Terlindungi yang Tersisa

Dalam admnistrasi pemerintahan saat ini Ko'mara dewasa ini merupakan dua desa di kecamatan Polut yakni Ko'mara dan Kale Ko'mara. Sebelumnya kedua desa ini merupakan satu bagian yang dimekarkan pada tahun 2014 silam.

Dari kisah yang melingkupi dan jejak sejarah yang dimiliki Ko'mara saat ini merupakan benteng terakhir kekayaan hayati untuk wilayah selatan Sulawesi-selatan. Ko'mara menjadi penting untuk ini karena bukan saja menjadi bagian di Wallacea yang sudah terkenal hampir dua abad sebagai kawasan penting untuk keanekaragaman hayati dunia, tapi penting karena satu-satunya kawasan hutan terlindungi secara hukum nasional sebagai Taman Margasatwa dan Taman Buru di jazirah selatan. Bentuk tumbuhan dan hewan endemik yang dimilikinya meski serupa dengan kawasan lain di Sulsel tapi ternyata berbeda dengan kawasan lain di Sulsel dan Sulbar. Misalnya saja burung Kenkareng Sulawesi di Ko'mara visologinya lebih kecil, jenis Kayu Hitamnya daunnya lebih kecil dibanding yang terdapat di Mamuju dan Luwu.

Keanekaragaman hayati yang ada masih banyak yang belum terungkap karena masih minimnya pengamatan, penggalian informasi, hingga penelitian di kawasan ini. Masih minimnya data keanekaragaman hayati dari kawasan ini, tidak berbanding lurus dengan tekanan okupasi pada hutan penunjang hingga kawasan. Dampaknya beberapa satwa yang masih terlihat dua dan tiga tahun silam disekitar pemungkiman penduduk di sekitar Borong Ra'misi, Buttadidia, dan Kupanga tiga dari empat kampung utama di Kale Ko'mara mulai jarang terlihat bahkan hilang.

Dari keadaan ini para pihak harus bergerak menjaga kelestarian kawasan ini. Sinergi pemerintah lokal (kabupaten, kecamatan, dan desa), BKSDA, organisasi masyarakat sipil, korporate, dan warga harus saling mendukung menjaga keberlangsungan Ko'mara untuk keberlanjujutan kekayaan hayati kita. (Darmawan Denassa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar